Kamis, 15 Oktober 2009

MENAPAKI LANGKAH PERJUANGAN..^_^


Kita memohon Kekuatan…
Dan Tuhan memberi kita kesulitan-kesulitan untuk membuat kita tegar.
Kita memohon kebijakan…
Dan Tuhan memberi kita berbagai persoalan Hidup untuk diselesaikan agar kita bertambah bijaksana.
Kita memohon kemakmuran…
Dan Tuhan memberi kita Otak dan Tenaga untuk dipergunakan sepenuhnya dalam mencapai kemakmuran.
Kita memohon Keteguhan Hati…
Dan Tuhan memberi Bencana dan Bahaya untuk diatasi.
Kita memohon Cinta…
Dan Tuhan memberi kita orang-orang bermasalah untuk diselamatkan dan dicintai.
Kita Memohon kemurahan/kebaikan hati…
Dan Tuhan memberi kita kesempatan-kesempatan yang silih berganti.

--------

Bersyukurlah karena kamu belum memiliki segala sesuatu yang kamu inginkan,
seandainya sudah, apalagi yang harus diinginkan.
Bersyukurlah apabila kamu tidak tahu sesuatu,
karena itu memberimu kesempatan untuk belajar.
Bersyukurlah untuk masa-masa sulit,
karena di masa itulah kamu tumbuh.
Bersyukurlah untuk keterbatasanmu,
karena itu memberimu kesempatan untuk berkembang.
Bersyukurlah untuk setiap tantangan baru,
karena itu akan membangun kekuatan dan karaktermu.

Metode Pengangkatan Khalifah

Salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan seputar Khilafah adalah bagaimana tata cara (metode) untuk pengangkatan Khalifah. Tidak sedikit yang menolak sistem Khilafah dengan alasan di dalam Islam tidak ada ketentuan yang jelas tentang mekanisme pengangkatan Khalifah. Berikut ini tulisan tentang hal itu yang diambil dari kitab ajhizatu ad Daulah al Khilafah (Struktur Negara Khilafah ). Kitab ini dikeluarkan dan diadopsi oleh Hizb at-Tahrir. (redaksi)

Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khalifah, syara’ juga telah menentukan metode yang harus dilaksanakan untuk mengangkat Khalifah. Metode ini ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunah dan Ijmak Sahabat. Metode itu adalah baiat. Maka pengangkatan Khalifah itu dilakukan dengan baiat kaum muslim kepadanya untuk (memerintah) berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasulullah. Yang dimaksud kaum muslim disini adalah kaum muslim yang menjadi rakyat Khalifah sebelumnya jika Khalifah sebelumnya itu ada. Atau kaum muslim penduduk suatu wilayah yang disitu diangkat seorang Khalifah, jiak sebelumnya tidak ada Khalifah.

Kedudukan baiat sebagai metode pengangkatan Khalifah telah ditetapkan dari baiat kaum muslim kepada Rasulullah saaw dan dari perintah beliau kepada kita untuk membaiat seorang imam. Baiat kaum muslim kepada Rasul saw, sesungguhnya bukanlah bait atas kenabian, melainkan baiat atas pemerintahan. Karena baiat itu adalah baiat atas amal dan bukan baiat untuk mempercayai kenabian. Beliau dibaiat tidak lain dalam kapasitas sebagai penguasa, bukan dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul. Sebab pengakuan atas kenabian dan kerasulan adalah masalah iman, bukan baiat. Maka baiat kepada Beliau itu tidak lain adalah baiat dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara.

Masalah baiat itu telah tercantum dalam al-Quran dan hadits. Allah Swt telah berfirman :

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ وَلاَ يَقْتُلْنَ أَوْلاَدَهُنَّ وَلاَ يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلاَ يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ

Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik. (QS. Muhtahanah : 12)

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. al-Fath : 10)

Imam Bukhari meriwayatkan : Ismail telah menyampaikan kepada kami, Malik telah menyampaikan kepadaku dari Yahya bin Sa’id, ia berkata : “Ubadah bin Walid telah memberitahuku, Bapakku telah memberitahuku dari Ubadah bin Shamit yang mengakatakan :

بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ r عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ

Kami telah membaiat Rasulullah saw untuk senantiasa mendengar dan mentaatinya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi dan agar kami tidak akan merebut kekuasaan dari orang yang berhak dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq di mana saja kami berada tidak takut karena Allah kepada celaan orang-orang yang suka mencela (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullah saw pernah bersabda :

وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ

Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)

Juga di dalam Shahih Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudzri yang mengatakan : Rasulullah saw pernah bersabda :

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا

Jika dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya (HR. Muslim)

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abiy Hazim yang berkata : “aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)

Nas-nas al-Quran dan as-Sunah di atas secara jelas menunjukkan bahwa satu-satunya metode mengangkat Khalifah adalah baiat. Seluruh sahabat telah memahami hal itu dan bahkan mereka telah melaksanakannya. Baiat Khulafa’ur Rasyidin sangat jelas dalam masalah ini.


Prosedur Praktis Pengangkatan dan Baiat Khalifah

Prosedur praktis untuk mencalonkan Khalifah sebelum di baiat boleh menggunakan bentuk yang berbeda-beda. Hal itu sebagaimana yang terjadi kepada Khulafa’ur Rasyidin yang datang pasca wafatnya Rasulullah secara langsung. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan ‘Ali –radhiyaLlâh ‘anhum–. Seluruh sahabat mendiamkan dan menyetujui tata cara itu. Padahal tata cara itu termasuk perkara yang harus diingkari seandainya bertentangan dengan syara’. Karena perkara tersebut berkaitan dengan perkara terpenting yang menjadi sandaran keutuhan insitusi kaum muslim dan kelestarian pemerintahan yang melaksanakan hukum Islam. Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan keempat Khalifah itu, kami mendapati bahwa sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka yang dicalonkan adalah Sa’ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar. Hanya saja Umar bin Khaththab dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar. Maka seakan-akan perkaranya berada hanya diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah, bukan yang lain. Hasil diskusi itu adalah dibaiatnya Abu Bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Maka baiat di Saqifah adalah baiat in’iqad sehingga dengan itu Abu Bakar menjadi Khalifah kaum muslim. Dan baiat di Masjid pada hari kedua merupakan baiat taat.

Ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan membawa maut, dan khususnya karena pasukan kaum muslim sedang berada di medan perang melawan negara besar kala itu, Persia dan Rumawi, Abu Bakar memanggil kaum muslim meminta pendapat mereka tentang siapa yang akan menjadi Khalifah kaum muslim sepeninggalnya. Proses musyarawah itu berlangsung selama tiga bulan. Ketika Abu Bakar telah selesai meminta pendapat kaum muslim itu dan ia akhirnya mengetahui pendapat mayoritas kaum muslim, maka Abu Bakar mewasiatkan Umar, yakni mencalonkan sesuai dengan bahasa kala itu, agar Umar menjadi Khalifah setelahnya. Wasiat atau pencalonan itu bukan merupakan akad pengangkatan Umar sebagai Khalifah setelah Abu Bakar. Karena setelah wafatnya Abu Bakar, kaum muslim datang ke masjid dan membaiat Umar untuk memangku jabatan Khilafah. Dengan baiat inilah Umar sah menjadi Khalifah kaum muslim, bukan karena musyawarah yang dilakukan oleh Abu Bakar. Juga bukan karena wasiat Abu Bakar. Karena seandainya wasiat dari Abu Bakar merupakan akad khilafah kepada Umar, pastilah tidak lagi memerlukan baiat kaum muslim. Terlebih lagi nas-nas yang telah kami sebutkan sebelumnya telah menunjukkan secara jelas bahwa seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali melalui baiat kaum muslim.

Ketika Umar tertikam, kaum muslim memintanya untuk menunjuk pengganti, namun Umar menolak. Setelah mereka terus mendesak, Beliau menunjuk enam orang yakni mengajukan calon sebanyak enam orang kepada kaum muslim. Kemudian Beliau menunjuk Suhaib untuk mengimami manusia dan untuk memimpin enam orang yang telah Beliau calonkan sehingga terpilih Khalifah dari mereka dalam jangka waktu tiga hari sebagaimana yang telah Beliau tentukan bagi mereka. Beliau berkata kepada Suhaib : “…. jika lima orang bersepakat dan rela dengan satu orang, dan yang menolak satu orang maka penggallah orang yang menolak itu dengan pedang …”. Peristiwa itu sebagaimana yang diceritakan oleh ath-Thabari dalam Târîkh ath-Thabariy, oleh Ibn Qutaibah pengarang buku al-Imâmah wa as-Siyâsah yang lebih dikenal dengan sebutan Târîkh al-Khulafâ’, oleh Ibn Sa’ad dalam Thabaqât al-Kubrâ. Kemudian beliau menunjuk Abu Thalhah al-Anshari bersama lima puluh orang untuk menjaga mereka. Beliau menugasi Miqdad untuk memilih tempat bagi para calon itu mengadakan pertemuan.

Kemudian setelah Beliau wafat dan setelah para calon berkumpul, Abdurrahman bin ‘Awf berkata : “…. siapa diantara kalian yang bersedia mengundurkan diri dan bersedia menyerahkan urusannya untuk dipimpin oleh orang yang terbaik diantara kalian?” Semuanya diam. Abdurrahman bin ‘Awf berkata : ” aku mengundurkan diri.” Lalu Abdurrahman mulai meminta pendapat mereka satu persatu. Ia menanyai mereka, seandainya perkara itu diserahkan kepada masing-masingnya, siapa diantara mereka yang lebih berhak. Maka jawabannya terbatas pada dua orang : Ali dan Utsman. Setelah itu, Abdurrahman mulai merujuk kepada pendapat kaum muslim dengan menanyai mereka siapa diantara kedua orang itu (Ali dan Utsman) yang mereka kehendaki. Ia menanyai baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka menggali pendapat masyarakat. Abdurrahman bin ‘Awf melakukannya siang dan malam. Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalan al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata : “.. Abdurrahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam, Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun, ia berkata : “aku lihat engkau tidur, dan demi Allah jangan engkau habiskan tiga hari ini dengan banyak tidur.” Yakni tiga malam. Ketika orang-orang melaksanakan shalat subuh, sempurnalah dilangsungkan bait kepada Utsman. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Utsman menjadi Khalifah, bukan dengan penetapan Umar kepada enam orang.

Kemudian Utsman terbunuh. Lalu mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiat ‘Ali bin Abiy Thalib. Maka dengan baiat kaum muslim itu, Ali menjadi seorang Khalifah.

Dengan meneliti tata cara pembaiatan mereka –radhiyaLlâh ‘anhum– jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kapada masyarakat. Dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing dari mereka. Kemudian diambil pendapat dari ahl al-halli wa al-’aqdi diantara kaum muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang dicalonkan itu dikenal luas pada masa Khulafa’ur Rasyidin, karena mereka adalah para sahabat –radhiyaLlâh ‘anhum– atau penduduk Madinah. Siapa yang dikehendaki oleh para sahabat atau mayoritas para sahabat, maka orang itu dibaiat dengan baiat in’iqad dan dengan itu ia menjadi Khalifah dan kaum muslim menjadi wajib untuk mentaatinya. Lalu kaum muslim secara umum membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.

Inilah yang dapat dipahami dari apa yang terjadi pada baiat Khulafa’ur Rasyidin –radhiyaLlâh ‘anhum–. Dari sana juga terdapat dua perkara lain yang dapat dipahami dari pencalonan Umar kepada enam orang dan dari prosedur pembaitan Utsman. Dua perkara itu adalah : adanya amir sementara yang memimpin selama jangka waktu pengangkatan Khalifah yang baru dan pembatasan calon sebanyak enam orang sebagai jumlah paling banyak.


Amir Sementara

Ketika Khalifah merasa ajalnya sudah dekat menjelang kosongnya jabatan Khilafah pada waktunya, Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara untuk menangani urusan masyarakat selama jangka waktu proses pengangkatan Khalifah yang baru. Amir sementara itu memulai tugasnya langsung setelah wafatnya Khalifah. Tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru dalam jangka waktu tiga hari.

Amir sementara ini tidak boleh mengadopsi (melegislasi) suatu hukum. Karena pengadopsian hukum itu adalah bagian dari wewenang Khalifah yang dibaiat oleh umat. Demikian juga, Amir sementara itu tidak boleh mencalonkan untuk jabatan khilafah atau mendukung salah seorang calon yang ada. Sebab Umar bin Khaththab telah menunjuk amir sementara itu dari selain orang yang dicalonkan untuk menduduki jabatan khilafah.

Jabatan amir sementara itu berakhir dengan diangkatnya Khalifah yang baru. Karena tugasnya hanya sementara waktu untuk kepentingan pengangkatan Khalifah yang baru itu.

Dalil yang menunjukkan bahwa Suhaib merupakan amir sementara yang ditunjuk oleh Umar adalah :

Perkataan Umar kepada para calon : “agar Suhaib memimpin kalian selama tiga hari dimana kalian bermusyawarah.” Kemudian Umar berkata kepada Suhaib : “pimpinlah shalat orang-orang selama tiga hari.” Sampai Beliau berkata : ” jika lima orang telah sepakat terhadap satu orang, dan satu orang menolak maka penggallah lehernya dengan pedang ….” Ini artinya bahwa Suhaib telah ditunjuk sebagai amir bagi mereka. Ia telah ditunjuk sebagai amir shalat, dan kepemimpinan shalat maksudnya adalah kepemimpinan atas manusia. Dan juga karena ia telah diberi wewenang menjalankan uqubat (sanksi) “penggallah lehernya“, sementara tidak ada yang boleh melaksanakan pembunuhan itu kecuali seorang amir.

Perkara itu telah terjadi dihadapan para sahabat tanpa ada pengingkaran, maka ketentuan tersebut menjadi ijmak bahwa Khalifah memiliki hak menunjuk amir sementara yang melangsungkan pemilihan Khalifah yang baru. Berdasarkan hal ini, selama kehidupannya, Khalifah juga boleh mengadopsi pasal yang menyatakan bahwa jika Khalifah meninggal dunia dan belum menunjuk amir sementara untuk melangsungkan pengangkatan Khalifah yang baru, hendaknya salah seorang menjadi amir sementara.

Kami mengadopsi dalam masalah ini, jika Khalifah selama sakitnya menjelang maut tidak menunjuk amir sementara, hendaknya amir sementara itu adalah mu’awin tafwidh yang paling tua, kecuali jika ia dicalonkan. Maka berikutnya adalah mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya diantara para mu’awin tafwidh. Demikianlah sampai semua mu’awin tafwidh, seterusnya adalah para mu’awin tanfidz dengan urutan seperti itu.

Hal itu juga berlaku dalam kondisi Khalifah diberhentikan. Amir sementara adalah mu’awin tafwidh yang paling tua jika ia tidak dicalonkan. Jika ia dicalonkan, maka mu’awin tafwidh yang lebih muda setelahnya, sampai semua mu’awin tafwidh habis. Kemudian mu’awin tanfidz yang paling tua. Jika semua mu’awin ingin mencalonkan diri (atau dicalonkan), maka mu’awin tanfidz yang paling muda harus menjadi amir sementara.

Ketentuan ini juga berlaku pada kondisi Khalifah berada dalam tawanan, meski ada beberapa detil berkaitan dengan wewenang amir sementara dalam kondisi Khalifah tertawan sementara terdapat kemungkinan bebas, dan dalam kondisi tidak ada kemungkinan bebas. Dan kami akan mengatur wewenang-wewenang ini dalam undang-undang yang akan dikeluarkan pada waktunya nanti.

Amir sementara ini berbeda dengan orang yang ditunjuk Khalifah untuk mewakilinya ketika ia keluar untuk melaksanakan jihad atau keluar melakuakn perjalanan sebagaimana yang diperbuat oleh Rasulullah setiap kali Beliau keluar untuk berjihad atau ketika Beliau melaksanakan Haji Wada’ atau yang semisalnya. Orang yang diangkat dalam kondisi ini, wewenangnya sesuai dengan yang ditentukan oleh Khalifah dalam menjalankan pengaturan berbagai urusan (ri’âyah asy-syu’un) yang dituntut oleh penunjukan wakil itu.


Pembatasan Jumlah Calon Khalifah

Dari penelitian terhadap tata cara pengangkatan Khulafa’ur Rasyidin, nampak jelas bahwa pembatasan jumlah calon itu benar-benar terjadi. Pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, para calon itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah, dan Sa’ad bin Ubadah, dan dicukupkan dengan keempatnya. Akan tetapi, Umar dan Abu Ubaidah merasa tidak sepadan dengan Abu Bakar sehingga keduanya tidak mau bersaing dengan Abu Bakar. Maka pencalonan secara praktis terjadi diantara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian ahl al-halli wa al-‘aqdi di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat in’iqad. Pada hari berikutnya kaum muslim membaiat Abu Bakar di Masjid dengan baiat taat.

Abu Bakar hanya mencalonkan Umar, dan tidak ada calon lainnya. Kemudian kaum muslim membaiat Umar dengan baiat in’iqad lalu baiat taat.

Umar mencalonkan enam orang dan membatasinya pada mereka dan dipilih dari mereka satu orang sebagai Khalifah. Kemudian Abdurrahman bin ‘Awf berdiskusi dengan kelima yang lain dan akhirnya membatasi calon pada dua orang yaitu ‘Ali dan Utsman. Hal itu dilakukan setelah lima orang yang lain mewakilkan kepadanya. Setelah itu, Abdurrahman menggali pendapat masyarakat. Dan akhirnya suara masyarakat menetapkan Utsman sebagai Khalifah.

Adapun ‘Ali, tidak ada calon lain selain dia untuk menduduki jabatan khilafah. Maka mayoritas kaum muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya dan jadilah ia sebagai Khalifah keempat.

Dan karena baiat Utsman di dalamnya telah terealisisasi : jangka waktu terpanjang yang dibolehkan untuk memilih Khalifah yaitu tiga hari dengan dua malamnya; dan demikian juga jumlah calon dibatasi sebanyak enam orang, kemudian setelah itu dijadikan dua orang, maka berikut akan kami sebutkan tata cara terjadinya peristiwa tersebut secara detil untuk mengambil faedah darinya :

1. Umar wafat pada Ahad subuh tanggal 1 Muharam 24 H sebagai akibat dari tikaman Abu Lu’lu’ah –la’anahuLlâh–. Umar tertikam dalam keadaan berdiri melaksanakan shalat di mihrab pada Rabu fajar empat hari tersisa dari bulan Dzul Hijjah 23 H. Suhaib mengimami shalat jenazah untuk Umar seperti yang telah Beliau pesankan.

2. Setelah selesai pemakaman jenazah Umar –radhiyaLlâh ‘anhu–, Miqdad mengumpulkan ahl syura yang telah dipesankan Umar di satu rumah. Abu Thalhah bertugas menjaga (mengisolasi) mereka. Mereka berenam duduk bermusyawarah. Kemudian mereka mewakilkan kepada Abdurrahman bin ‘Awf untuk memilih diantara mereka sebagai Khalifah dan mereka rela.

3. Abdurrahman mulai berdiskusi dan menanyai masing-masing : jika ia tidak menjadi Khalifah, siapa dari empat calon yang lain yang ia pandang sebagai Khalifah? Jawaban mereka tidak menentukan Ali dan Utsman. Dan berikutnya Abdurrahman membatasi perkara dengan dua orang (‘Ali dan Utsman) dari enam orang itu.

4. Setelah itu, Abdurrahman meminta pendapat masyarakat seperti yang sudah diketahui.

5. Pada malam Rabu yakni malam hari ketiga setelah wafatnya Umar pada hari Ahad, Abdurrahman pergi ke rumah Putra Saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan dari sini saya nukilkan dari al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Ibn Katsir :

Ketika malam Rabu setelah wafatnya Umar, Abdurrahman datang ke rumah putra saudarinya, al-Maysur bin Mukhrimah, dan ia berkata : “apakah engkau tidur wahai Maysur? Demi Allah aku tidak tidur sejak tiga …” yakni tiga malam setelah wafatnya Umar hari Ahad subuh, artinya malam Senin, malam Selasa dan malam Rabu, sampai Abdurrahman berkata : “pergilah dan panggilkan Ali dan Utsman untukku…..Kemudian ia keluar ke masjid bersama Ali dan Utsman….Lalu ia menyeru kepada orang-orang secara umum : ash-shalâtu jâmi’ah (mari shalat berjama’ah). Saat itu adalah saat fajar hari Rabu. Kemudian Abdurrahman mengambil tangan ‘Aliy –radhiyaLlâh ‘anhu wa karamaLlâh wajhah– dan ia menanyainya tentang (kesediaan) dibaiat berdasarkan al-Kitab, Sunah Rasulullah dan perbuatan Abu Bakar dan Umar. Lalu Ali menjawabnya dengan jawaban yang sudah dikenal : berdasarkan al-Kitab dan as-Sunah, iya, sedangkan atas perbuatan Abu Bakar dan Umar, maka ia (Ali) akan berijtihad sesuai pendapatnya sendiri. Lalu Abdurrahman melepaskan tangan Ali. Berikutnya Abdurrahman mengambil tangan Utsman dan menanyai Utsman dengan pertanyaan yang sama. Lalu Utsman menjawah : “demi Allah, ya”. Dan sempurnalah dilangsungkan baiat kepada Utsman –radhiyaLlâh ‘anhu–.

Dan Suhaib mengimami shalat Subuh dan salat Dhuhur hari itu. Kemudian Utsman mengimami Shalat Ashar pada hari itu sebagai Khalifah kaum muslim. Artinya, meskipun baiat in’iqad kepada Utsman dimulai ketika shalat subuh, namun kepemimpinan Suhaib belum berakhir kecuali setelah terjadi baiat ahl al-hall wa al-‘aqd di Madinah kepada Utsman yang selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Karena para sahabat berdesak-desakan untuk membaiat Utsman sampai setelah tengah hari dan menjelang shalat Ashar. Baiat itu selesai dilakukan menjelang shalat Ashar. Maka saat itu berakhirlah kepemimpinan Suhaib dan Utsman menjadi imam shalat Ashar dalam kapasitasnya sebagai Khalifah kaum muslim.

Penulis al-Bidâyah wa an-Nihâyah (Ibn Katsir) menjelaskan kenapa Suhaib masih mengimami shalat Dhuhur, dan sudah diketahui bahwa baiat kepada Utsman telah sempurna dilangsungkan pada waktu fajar. Ibn Katsir berkata :

“… orang-orang membaiat Utsman di Masjid, kemudian Utsman pergi ke Dar Syura (yakni rumah tempat berkumpulnya ahl syura), dan sisa manusia yang lain membaiat Utsman di tempat itu. Dan seakan baiat itu baru selesai (sempurna) setelah shalat Dhuhur. Suhaib pada hari itu mengimami shalat Dhuhur di Masjid Nabawi. Sedang shalat pertama kali yang dilaksanakan oleh Khalifah Amîr al-Mu’minîn Utsman mengimami masyarakat adalah shalat Ashar….”.

Dalam hal ini terdapat perbedaan (dalam beberapa riwayat) mengenai hari tertikamnya Umar dan hari dibaiatnya Utsman…. akan tetapi kami sebutkan yang lebih kuat diantara riwayat yang ada.

Atas dasar ini, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan khilafah setelah Khalifah sebelumnya lengser baik karena meninggal dunia atau di copot, yaitu :

1. aktivitas berkaitan dengan masalah pencalonan hendaknya dilakukan pada malam dan siang hari pertama.

2. Pembatasan calon dari sisi terpenuhinya syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.

3. Pembatasan jumlah calon yang layak dilakukan dua kali : pertama, dibatasi sebanyak enam orang, dan kedua dibatasi menjadi dua orang. Pihak yang melakukan dua pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Karena umat mendelegasikan kepada Umar, lalu Umar menetapkannya enam orang. Dan enam orang itu mendelegasikan kepada Abdurrahman dan setelah melalui diskusi dibatasi menjadi dua orang. Referensi semua ini adalah sebagaimana yang sudah jelas adalah umat atau yang mewakili umat.

4. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses baiat dan pengangkatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan. Suhaib belum berakhir kepemimpinannya dengan terpilihnya Utsman akan tetapi dengan selesainya baiat.

Sesuai dengan yang sudah dijelaskan, akan dikeluarkan undang-undang yang menentukan tata cara pemilihan Khalifah selama dua malam tiga hari. Undang-undang untuk itu telah dibuat dan akan selesai didiskusikan dan diadopsi pada waktunya nanti.

Ini jika sebelumnya terdapat Khalifah yang meninggal atau dicopot. … dan hendak direalisasikan Khalifah baru menggantikannya. Adapun jika sebelumnya belum terdapat Khalifah, maka wajib bagi kaum muslim menegakkan seorang Khalifah bagi mereka, untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Kondisi itu seperti kondisi yang ada sejak lenyapnya Khilafah Islamiyah di Istanbul pada tanggal 28 rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924 M. Setiap negeri dari berbagai negeri yang ada di dunia Islam layak untuk membaiat Khalifah dan mengakadkan jabatan khilafah. Maka saat itu menjadi wajib bagi kaum muslim di seluruh negeri untuk membaiatnya dengan baiat taat. Yakni baiat keterikatan setelah terakadkan kepadanya dengan baiat penduduk negeri itu, asalkan negeri itu memenuhi empat syarat berikut :

1. Kekuasaan negeri itu haruslah kekuasaan yang bersifat independent yang hanya bersandar kepada kaum muslim saja. Tidak bersandar kepada satu negara kafir atau kekuasaan kafir manapun.

2. Keamanan kaum muslim di negeri itu adalah kemanan Islam, bukan keamanan kufur. Yakni hendaknya perlindungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri merupakan perlindungan Islam berasal dari kekuatan kaum muslim sebagai kekuatan Islam saja.

3. Hendaknya penerapan Islam dilakukan secara langsung dan sekaligus dan secara sempurna sebagai penerapan yang bersifat revolusioner dan menyeluruh (tathbîqan inqilâbiyan syâmilan) dan langsung mengemban dakwah Islamiyah

4. Khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat in’iqad khilafah meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyah. Karena yang wajib adalah syarat in’iqad.

Jika negeri itu memenuhi keempat hal di atas, maka hanya dengan baiat negeri itu saja, khilafah sungguh telah terwujud dan terakadkan. Khalifah yang mereka baiat dengan baiat in’iqad secara sah merupakan Khalifah yang syar’i dan tidak sah baiat kepada yang lain.

Setelah itu, negeri lain manapun yang membaiat Khalifah yang lain maka baiat itu tidak sah dan batil. Karena Rasulullah saw pernah bersabda :

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا

Jika dibaiat dua orang Khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya

… فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ

.. penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama

مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ

Siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)


Tata Cara Baiat

Telah kami jelaskan dalil-dalil baiat dan bahwa baiat adalah metode pengangkatan Khalifah dalam Islam. Adapun tata caranya, baiat bisa dilakukan dengan berjabat tangan dan bisa juga dengan tulisan. Abdullah bin Dinar telah menyampaikan hadits, ia berkata :

Aku menyaksikan Ibn Umar dimana orang-orang telah bersepakat untuk membaiat Abdul Malik bin Marwan, ia berkata bahwa dia menulis : “aku berikrar untuk mendengarkan dan mentaati Abdullah Abdul Malik bin Marwan sebagai amirul mukminin atas dasar kitabullah dan sunah rasul-Nya dalam hal yang aku mampu.”

Baiat itu boleh dilakukan dengan sarana apapun yang memungkinkan.

Hanya saja disyaratkan agar baiat itu dilakukan oleh orang yang sudah balig. Baiat tidak sah dilakukan oleh anak-anak yang belum baligh. Abu ‘Uqail Zuhrah bin Ma’bad telah menyampaikan hadits dari kakeknya Abdullah bin Hisyam yang pernah berjumpa dengan Nabi saw : Abdullah pernah dibawa ibunya Zainab binti Humaid, kepada Rasulullah saw. Ibunya berkata : “ya Rasulullah saw terimalah baiatnya!” Lalu Nabi saw bersabda : “ia masih kecil“. Dan beliau mengusap kepalanya dan mendoakannya (HR. Bukhari).

Adapun lafazh baiat, tidak disyaratkan terikat dengan lafazh-lafazh tertentu. Akan tetapi harus mengandung makna sebagai baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan sunah Rasul-Nya bagi Khalifah dan harus mengandung makna kesanggupan untuk mentaati dalam keadaan sulit atau lapang, disenangi atau tidak disenangi bagi orang yang memberikan baiat. Nanti akan dikeluarkan undang-undang yang membatasi redaksi baiat sesuai penjelasan sebelumnya.

Manakala pihak yang membaiat telah memberikan baiatnya kepada Khalifah, maka baiat itu menjadi amanah diatas pundak pihak yang membaiat dan tidak diperbolehkan mencabutnya. Baiat ditinjau dari sisi pengangkatan khilafah merupakan hak yang harus dipenuhi. Jika baiat itu telah diberikan, maka ia wajib terikat dengannya. Kalau pihak yang memberikan baiat itu ingin menariknya kembali maka hal itu tidak diperbolehkan. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Jabir bin Abdullah –radhiyaLlâh ‘anhu– bahwa seorang arab badui telah membaiat Rasulullah saw untuk menetapi Islam. Kemudian ia menderita sakit, lalu ia berkata : “kembalikan baiatku kepadaku!” Beliau menolaknya, lalu orang itu pergi. Lantas Beliau bersabda :

المدينة كالكبر تنفي خبثها، وينصع طيبها

“Madinah ini seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang yang baik.”

Diriwayatkan dari Nafi’ yang berkata : “Abdullah bin Umar pernah mengatakan kepadaku : “aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda :

من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له

Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia pasti menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah (HR. Muslim)

Membatalkan baiat kepada Khalifah sama artinya dengan melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah. Hanya saja ketentuan itu berlaku jika baiat kepada Khalifah itu adalah baiat in’iqad atau merupakan baiat taat kepada Khalifah yang telah sah baiat in’iqad kepadanya. Adapun jika baiat itu baru permulaan lalu baiat tersebut belum sampai sempurna, maka pihak yang membaiat boleh melepaskan baiatnya dengan syarat baiat in’iqad dari kaum muslim kepada Khalifah itu belum sempurna. Larangan dalam hadits itu berlaku untuk orang yang menarik kembali baiat Khalifah, bukan menarik kembali baiat kepada seseorang yang belum sempurna jabatan khilafahnya.

Apa Itu Khilafah?

* Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih.
* Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di Dunia Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah sistem politik yang khas.
* Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja atau diktator, melainkan seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai’at. Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator, yang menerapkan kekuasaan dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat ini, yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat.
* Kontrak bai’at mengharuskan Khalifah untuk bertindak adil dan memerintah rakyatnya berdasarkan syariat Islam. Dia tidak memiliki kedaulatan dan tidak dapat melegislasi hukum dari pendapatnya sendiri yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Setiap undang-undang yang hendak dia tetapkan haruslah berasal dari sumber hukum Islam, yang digali dengan metodologi yang terperinci, yaitu ijtihad. Apabila Khalifah menetapkan aturan yang bertentangan dengan sumber hukum Islam, atau melakukan tindakan opresif terhadap rakyatnya, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa dalam sistem Negara Khilafah, yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachment kepada Khalifah dan menggantinya.
* Sebagian kalangan menyamakan Khalifah dengan Paus, seolah-olah Khalifah adalah Pemimpin Spiritual kaum Muslim yang sempurna dan ditunjuk oleh Tuhan. Ini tidak tepat, karena Khalifah bukanlah pendeta. Jabatan yang diembannya merupakan jabatan eksekutif dalam pemerintahan Islam. Dia tidak sempurna dan tetap berpotensi melakukan kesalahan. Itu sebabnya dalam sistem Islam banyak sarana check and balance untuk memastikan agar Khalifah dan jajaran pemerintahannya tetap akuntabel.
* Khalifah tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh kekuasaannya melalui akad bai’at. Sistem Khilafah bukanlah sistem teokrasi. Konstitusinya tidak terbatas pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan luar negeri dan peradilan. Kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup masyarakat adalah tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh Khilafah. Ini sangat berbeda dengan sistem teokrasi kuno di zaman pertengahan Eropa dimana kaum miskin dipaksa bekerja dan hidup dalam kondisi memprihatinkan dengan imbalan berupa janji-janji surgawi. Secara histories, Khilafah terbukti sebagai negara yang kaya raya, sejahtera, dengan perekonomian yang makmur, standar hidup yang tinggi, dan menjadi pemimpin dunia dalam bidang industri serta riset ilmiah selama berabad-abad.
* Khilafah bukanlah kerajaan yang mementingkan satu wilayah dengan mengorbankan wilayah lain. Nasionalisme dan rasisme tidak memiliki tempat dalam Islam, dan hal itu diharamkan. Seorang Khalifah bisa berasal dari kalangan mana saja, ras apapun, warna kulit apapun, dan dari mazhab manapun, yang penting dia adalah Muslim. Khilafah memang memiliki karakter ekspansionis, tapi Khilafah tidak melakukan penaklukkan wilayah baru untuk tujuan menjarah kekayaan dan sumber daya alam wilayah lain. Khilafah memperluas kekuasaannya sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya, yaitu menyebarkan risalah Islam.
* Khilafah sama sekali berbeda dengan sistem Republik yang kini secara luas dipraktekkan di Dunia Islam. Sistem Republik didasarkan pada demokrasi, dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat. Ini berarti, rakyat memiliki hak untuk membuat hukum dan konstitusi. Di dalam Islam, kedaulatan berada di tangan syariat. Tidak ada satu orang pun dalam sistem Khilafah, bahkan termasuk Khalifahnya sendiri, yang boleh melegislasi hukum yang bersumber dari pikirannya sendiri.
* Khilafah bukanlah negara totaliter. Khilafah tidak boleh memata-matai rakyatnya sendiri, baik itu yang Muslim maupun yang non Muslim. Setiap orang dalam Negara Khilafah berhak menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan negara tanpa harus merasa takut akan ditahan atau dipenjara. Penahanan dan penyiksaan tanpa melalui proses peradilan adalah hal yang terlarang.
* Khilafah tidak boleh menindas kaum minoritas. Orang-orang non Muslim dilindungi oleh negara dan tidak dipaksa meninggalkan keyakinannya untuk kemudian memeluk agama Islam. Rumah, nyawa, dan harta mereka, tetap mendapat perlindungan dari negara dan tidak seorangpun boleh melanggar aturan ini. Imam Qarafi, seorang ulama salaf merangkum tanggung jawab Khalifah terhadap kaum dzimmi: “Adalah kewajiban seluruh kaum Muslim terhadap orang-orang dzimmi untuk melindungi mereka yang lemah, memenuhi kebutuhan mereka yang miskin, memberi makan yang lapar, memberikan pakaian, menegur mereka dengan santun, dan bahkan menoleransi kesalahan mereka bahkan jika itu berasal dari tetangganya, walaupun tangan kaum Muslim sebetulnya berada di atas (karena faktanya itu adalah Negara Islam). Kaum Muslim juga harus menasehati mereka dalam urusannya dan melindungi mereka dari ancaman siapa saja yang berupaya menyakiti mereka atau keluarganya, mencuri harta kekayaannya, atau melanggar hak-haknya.”
* Dalam sistem Khilafah, wanita tidak berada pada posisi inferior atau menjadi warga kelas dua. Islam memberikan hak bagi wanita untuk memiliki kekayaan, hak pernikahan dan perceraian, sekaligus memegang jabatan di masyarakat. Islam menetapkan aturan berpakaian yang khas bagi wanita – yaitu khimar dan jilbab, dalam rangka membentuk masyarakat yang produktif serta bebas dari pola hubungan yang negatif dan merusak, seperti yang terjadi di Barat.
* Menegakkan Khilafah dan menunjuk seorang Khalifah adalah kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia, lelaki dan perempuan. Melaksanakan kewajiban ini sama saja seperti menjalankan kewajiban lain yang telah Allah Swt perintahkan kepada kita, tanpa boleh merasa puas kepada diri sendiri. Khilafah adalah persoalan vital bagi kaum Muslim.
* Khilafah yang akan datang akan melahirkan era baru yang penuh kedamaian, stabilitas dan kemakmuran bagi Dunia Islam, mengakhiri tahun-tahun penindasan oleh para tiran paling kejam yang pernah ada dalam sejarah. Masa-masa kolonialisme dan eksploitasi Dunia Islam pada akhirnya akan berakhir, dan Khilafah akan menggunakan seluruh sumber daya untuk melindungi kepentingan Islam dan kaum Muslim, sekaligus menjadi alternatif pilihan rakyat terhadap sistem Kapitalisme. (hti)

Senin, 12 Oktober 2009

Sabtu, 10 Oktober 2009

Aisyah Dan Maisyah

“Akhi,…Sudah siapkah untuk menikah….? “ Pertanyaan sakti ini sering terlontar kepada ikhwan dari itu teman ataupun juga dari Ust. “ Klo Aisyah siap sudah siap, tapi Ma’isyahnya yang blum siap.” Jawab sebagian ikhwan.

Ada denganmu Wahai Ikhwan,..?

Ternyata,…..

Ketika ikhwan punya niat itu,…banyak orang tua yg bertanya kesiapan Finansial calon menantu yang datang melamar putrinya dengan pertanyaan:



* Kerjanya dimana,..?

* Gajinya berapa sebulan,…?

Pertanyaan ini wajar terlontar dari pihak orang tua yang berharap kebutuhan finasial putrinya dapat tercukupi. Tapi hal ini yang membuat para ikhwan untuk mundur karena mendengar cerita ikhwan yang lain. Mungkin karena tidak PD dengan pekerjaan yang di mili atw merasa tidak lolos kualifikasi standard pekerjaan atau penghasilan minimal. Terlepas dari benar tidaknya alasan keuangan yang menjadi kendala utama untuk menikah atau alasan ketidak siapan mental.


Indikator Siap menikah buat Ikhwan

“ Wahai segenap pemuda, barang siapa diantara kalian telah Mampu untuk menikah, maka hendaklahia menikah karena itu lebih menundunkkan pandangandan lebih mememlihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaklah dia berpuasa karena puasaitu akan menjadi perisai baginya. “ ( HR. Bukhari dan Muslim )


Ø Apakah harus bekerja sebelum menikah?

Bekerja atau tidak kalo udah siap nikah,….yaa Monggo too Mas,… kuncinya cuma siap blum untuk menanggung beban nafkah keluarga nanti. Lohh kok Ga’ kerja bisa nanggung nafkah,..? Jangan salehhh yang diperlukan untuk memberi nafkah bukan pekerjaan but,..penghasilan Coi,…

Lohh terus apa bedanya pekerjaan ama penghasilan,..? bekerja tidak berarti segala kebutuhan hidup terjamin. Sebaliknya, jika tidak bekerja, bukan berarti jg tidak punya penghasilan. Intinya adanya kemampuan ikhwan untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik itu dari penghasilan kerja,usaha aatu warisan selam tidak merugikan org lain.


Ø Berapa penghasilan minimal untuk siap menikah?

Klo soal nominal,..Wuaah kaya’nya ga’ bisa diukur , karena

1. Inflasi di Indonesia cukup tinggi

2. Kesenjangan di setiap daerah berbeda – beda

3. Bicara uang tidak cukup bicara jumlah, tapi yang lebih penting bagaimana sikap kita terhadapa uang tsb.


Ø Berapa tabungan yang diperlukan untuk biaya walimahan

Sebenarnya yang perlu di siapkan oleh calon mempelai laki-laki hanya satu, yaitu Mahar. Terus Resepsinya,..? Klo soal ntuuu masih dalam batas tanggung jawab orang tua. Karena menikahkan anak-anaknya adlah kewajiban terakhir sebelum mandiri. Dari kedua mempelai kadang pengennya siih sederhana, tapi orang tua pengennya lain. Bisa di lihat dari jumlah undangan pada acara sebagian besar adalah tamu orang tua ketimbang undangan kedua mempelai. Ada kekeliruan sebagian ikhwan dalam memandang prioritas bahwa “ yang disiapkan adalah bagaimana cara mengumpulkan dana untuk biaya walimahan, tapi kurang yang memperhatikan penghasilan yang halal setelah menikah nanti. Dan perlu di evaluasi bahwa apakah penghasilan saya cukup memadai untuk menafkahi isti.


Indikator Siap menikah bagi Akwat

*Persiapan untuk mengelola keuangannya sendiri
Adanya kesiapan untuk menerima amanah besar sebagai “ Menteri Keuangan “ di rumah tangganya,..klo ikhwan takut seberapa besar penghasilan dan tabungan yang dimiliki . Maka lain halnya dari Akhwat. Kekhawatiran akan kehilangan “ standard ” hidup yang terbiasa dinikmati di lingkungan keluarganya.

* Persiapan untuk menghadapi perubahan gaya hidup mulai dari dengan keluarga baru
Kadang Akwat memiliki impiankelak aka nada pangeran yang datang melamar. Pangeran yang melamar adalah mapan, baik agamanya maupun financial. Tapi jangan hal tsb jadi persyaratan mutlak bagi ikhwan yang bersungguh – sungguh. Karena jodoh adalah salahsatu ketentuanya. Maka akhwat harus siap menerima apa yang Allah tentukan. Bukan hal mustahil juga jika hal itu malah jauh dari harapan. Yakinlah bahwa Allah pasti memebrikan yang terbaik bagi kita. Maka yang diperlukan adalah usaha yang gigih dan kesabaran untuk mencapainya. Bila memang perlu, akwat pun juga tidak dilarang untuk mencari berperan dalam proses mencari nafkah keluarga. Bahkan itu menjadi suatu kebaikan dan semoga menjadikan usahanya sebagai sedekah untuk keluarganya.

Doa Ikhwan ,….( Balasan Torehan Hati Akhwat )

llahumma Yaa Rabb,….
Dalam keheningan malam_Mu
Tiada bosannya para kekasih_Mu bercumbu Dengan_Mu
Akankah,…Begitu pula dengan diri ini,…
Diri yang penuh hitam lekam dosa,…..
Berharap mendapatkan pula seperti halnya mereka
Mereka yang sedang beradu kasih dengan_Mu

Allahumma Yaa Rabb,..
Di seberang sana Engkau tunjukkan Ke Maha Besaran_Mu
Bukti Bahwa Engkaulah yang Maha Mempunyai segalanya di Langit dan Bumi,..

Berkenanlah Engkau Yaa Rabb,..
Menjadikan hadirnya seorang Akhwat berada di samping Hamba_Mu yang lemah ini
Dalam jalani hidup dan kehidupan
Menjadikan hadirnya seorang Akhwat memberikan kesejukan
Dalam rona-rona biru hidup
Menjadikan hadirnya seorang Akhwat dengan lembut dan kelembutannya
Menjadikan karang dalam hati ini,…luluhhh
Menjadikan hadirnya seorang Akhwat dengan sabar dan kesabarannya
Menjadikan hati ini mampu mencapai Mardhatillah bersamanya,….
Menjadikan hadirnya seorang Akhwat dalam hari hari
Menapaki jalan hidup di dunia menuju Akhirat yang abadi
Menjadikan hadirnya seorang Akhwat pengarah arah tujuan
Manakala terdapat khilaf dalam menapaki jalan hidup
Menjadikan hadirnya seorang Akhwat,..
sebagai kekuatan setelah kekuatan_Mu dengan doanya
Menjadikan hadirnya seorang Akhwat dengan ketaatanya
Memasukkan kami bersama dirirnya dalam Syurga dengan Rhido_Mu

Apakah Ia harus sempurna,…?
Bukankah hanya Engkau Yaa Rabb yang Maha Sempurna,….
Tiada Celapun terdapat Pada_ MU
Apakah Ia harus Cantik,…?
Bukankah telah Engkau Takdirkan bahwa tiada yang kekal dari selain_Mu
Cantikpun,…adalah karunia_Mu yang suatu saat nanti Engkau ambil kembali
Apakah Ia harus Kaya,…?
Bukankah Engkau yang memiliki semua yang ada di langit dan di bumi
Bukankah Engkau yang memiliki diantara keduannya
Cukuplah Engkau sebagai Pelindung bagi kami,…..

Allahumma Yaa Rabb,…
Pertemukan kami dalam waktu niscaya_Mu
Di dalam rangkaian Doa- doa “ Baraakallahu ,…”
Yang terucap dari bibir tulus merestui kedua pasangan ini,..
Seraya meng” Aminnkan”,..hati-hati kami dalam menapaki
Jalan panjang,..

Aminnn…..

Jumat, 09 Oktober 2009

Mengingat Mati


Hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Akan datang masanya kita berpisah dengan dunia berikut isinya. Perpisahan itu terjadi saat kematian menjemput, tanpa ada seorang pun yang dapat menghindar darinya. Karena Ar-Rahman telah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati, dan Kami menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai satu fitnah (ujian), dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kalian berada, kematian pasti akan mendapati kalian, walaupun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa`: 78)
Kematian akan menyapa siapa pun, baik ia seorang yang shalih atau durhaka, seorang yang turun ke medan perang ataupun duduk diam di rumahnya, seorang yang menginginkan negeri akhirat yang kekal ataupun ingin dunia yang fana, seorang yang bersemangat meraih kebaikan ataupun yang lalai dan malas-malasan. Semuanya akan menemui kematian bila telah sampai ajalnya, karena memang:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
“Seluruh yang ada di atas bumi ini fana (tidak kekal).” (Ar-Rahman: 26)
Mengingat mati akan melembutkan hati dan menghancurkan ketamakan terhadap dunia. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hasungan untuk banyak mengingatnya. Beliau bersabda dalam hadits yang disampaikan lewat shahabatnya yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Hasan shahih.”)
Dalam hadits di atas ada beberapa faedah:
- Disunnahkannya setiap muslim yang sehat ataupun yang sedang sakit untuk mengingat mati dengan hati dan lisannya, serta memperbanyak mengingatnya hingga seakan-akan kematian di depan matanya. Karena dengannya akan menghalangi dan menghentikan seseorang dari berbuat maksiat serta dapat mendorong untuk beramal ketaatan.
- Mengingat mati di kala dalam kesempitan akan melapangkan hati seorang hamba. Sebaliknya, ketika dalam kesenangan hidup, ia tidak akan lupa diri dan mabuk kepayang. Dengan begitu ia selalu dalam keadaan bersiap untuk “pergi.” (Bahjatun Nazhirin, 1/634)
Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah ucapan yang singkat dan ringkas, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (kematian).” Namun padanya terkumpul peringatan dan sangat mengena sebagai nasihat, karena orang yang benar-benar mengingat mati akan merasa tiada berartinya kelezatan dunia yang sedang dihadapinya, sehingga menghalanginya untuk berangan-angan meraih dunia di masa mendatang. Sebaliknya, ia akan bersikap zuhud terhadap dunia. Namun bagi jiwa-jiwa yang keruh dan hati-hati yang lalai, perlu mendapatkan nasihat panjang lebar dan kata-kata yang panjang, walaupun sebenarnya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian).”
disertai firman Allah k:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati,” sudah mencukupi bagi orang yang mendengar dan melihat.
Alangkah bagusnya ucapan orang yang berkata:
اذْكُرِ الْمَوْتَ تَجِدُ رَاحَةً، فِي إِذْكَارِ الْمَوْتِ تَقْصِيْرُ اْلأَمَلِ
“Ingatlah mati niscaya kau kan peroleh kelegaan, dengan mengingat mati akan pendeklah angan-angan.”
Adalah Yazid Ar-Raqasyi rahimahullahu berkata kepada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”
Kemudian ia berkata, “Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri-diri kalian dalam hidup kalian yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga jatuh pingsan. (At-Tadzkirah, hal. 8-9)
Sungguh, hanya orang-orang cerdas cendikialah yang banyak mengingat mati dan menyiapkan bekal untuk mati. Shahabat yang mulia, putra dari shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’
‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam beribadah. Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah. Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya. Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan. Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (At-Tadzkirah, hal. 9)
Bayangkanlah saat-saat sakaratul maut mendatangimu. Ayah yang penuh cinta berdiri di sisimu. Ibu yang penuh kasih juga hadir. Demikian pula anak-anakmu yang besar maupun yang kecil. Semua ada di sekitarmu. Mereka memandangimu dengan pandangan kasih sayang dan penuh kasihan. Air mata mereka tak henti mengalir membasahi wajah-wajah mereka. Hati mereka pun berselimut duka. Mereka semua berharap dan berangan-angan, andai engkau bisa tetap tinggal bersama mereka. Namun alangkah jauh dan mustahil ada seorang makhluk yang dapat menambah umurmu atau mengembalikan ruhmu. Sesungguhnya Dzat yang memberi kehidupan kepadamu, Dia jugalah yang mencabut kehidupan tersebut. Milik-Nya lah apa yang Dia ambil dan apa yang Dia berikan. Dan segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata, “Tidaklah hati seorang hamba sering mengingat mati melainkan dunia terasa kecil dan tiada berarti baginya. Dan semua yang ada di atas dunia ini hina baginya.”
Adalah ‘Umar bin Abdil ‘Aziz rahimahullahu bila mengingat mati ia gemetar seperti gemetarnya seekor burung. Ia mengumpulkan para ulama, maka mereka saling mengingatkan akan kematian, hari kiamat dan akhirat. Kemudian mereka menangis hingga seakan-akan di hadapan mereka ada jenazah. (At-Tadzkirah, hal. 9)
Tentunya tangis mereka diikuti oleh amal shalih setelahnya, berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersegera kepada kebaikan. Beda halnya dengan keadaan kebanyakan manusia pada hari ini. Mereka yakin adanya surga tapi tidak mau beramal untuk meraihnya. Mereka juga yakin adanya neraka tapi mereka tidak takut. Mereka tahu bahwa mereka akan mati, tapi mereka tidak mempersiapkan bekal. Ibarat ungkapan penyair:
Aku tahu aku kan mati namun aku tak takut
Hatiku keras bak sebongkah batu
Aku mencari dunia seakan-akan hidupku kekal
Seakan lupa kematian mengintai di belakang
Padahal, ketika kematian telah datang, tak ada seorangpun yang dapat mengelak dan menundanya.
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka apabila telah tiba ajal mereka (waktu yang telah ditentukan), tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mereka dapat mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila telah datang ajal/waktunya.” (Al-Munafiqun: 11)
Wahai betapa meruginya seseorang yang berjalan menuju alam keabadian tanpa membawa bekal. Janganlah engkau, wahai jiwa, termasuk yang tak beruntung tersebut. Perhatikanlah peringatan Rabbmu:
وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدْ
ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ
“Dan hendaklah setiap jiwa memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr: 18)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan lihatlah amal shalih apa yang telah kalian tabung untuk diri kalian sebagai bekal di hari kebangkitan dan hari diperhadapkannya kalian kepada Rabb kalian.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1388)
Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal kala kematian telah datang karena tiada berbekal, lalu engkau berharap penangguhan.
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat hingga aku mendapat kesempatan untuk bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?’.” (Al-Munafiqun: 10)
Karenanya, berbekallah! Persiapkan amal shalih dan jauhi kedurhakaan kepada-Nya! Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Kamis, 08 Oktober 2009

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana :
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

puisi S Djoko Damono
 
© design by Kang Rohman